Sentot,
atau nama lengkapnya ialah Sentot Ali Basya Abdullah Mushtofa Prawirodirjo,
salah satu buyut dari Sultan Hamengku Buwono 1 (dari garis keturuna ibu). Ia
merupakan komandan pertempuran dari pasukan-pasukan pelopor pada saat Perang
Dipenogoro. Gelar basya atau pasya adalah gelar yang diilhami oleh para
panglima perang di Turki yang di zaman itu menjadi kebanggaan bagi umat Islam
di seluruh dunia.
Sentot
Ali Basya adalah panglima perang pangeran Diponegoro yang meskipun usianya
ketika dilantik oleh pangeran Diponegoro sebagai panglima besar masih berusia
sekitar 17 tahun, namun kecakapannya dalam bertempur dan keberaniannya sangat
mengagumkan musuh. Belanda sendiri mengakuinya seperti apa yang tertulis di
dalam buku “De Java-Oorlog Van 1825-1830” oleh E.S. De Klerek jilid IV yang
menyebutkan; “telah menjelang saatnya bahwasanya ia (Sentot) akan mencengangkan
para lawannya dengan suatu manuver (gerakan pasukan) yang dijalankan dengan
kemahiran dan keberanianya yang luar biasa bahkan panglima-panglima perang yang
berpengalaman sekalipun dapat merasa mujur jikalau mereka dapat memperhatikan
tindakan yang demikian.
Belanda memasang perangkap dengan menggunakan saudara Sentot Ali Basya, yaitu Prawirodiningrat, bupati Madiun yang mengajak damai karena Belanda ingin membicarakan cita-cita dan tujuan perang Diponegoro seperti lainnya, setiap perjanjian perdamaian didahului oleh gencatan senjata atau penghentian pertempuran. Sentot Ali Basya mengajukan menyanggupi dengan mengajukan syarat, harus dijemput oleh panglima Belanda sendiri dan juga pasukannya yang 1000 orang itu harus tetap menyandang senjata dan tetap memakai jubah dan surban.
Bupati
Madiun itu menerima tawaran Belanda untuk mengadakan perundingan seperti di
uraikan cita-cita perang Diponegoro melalui Haryo Prawirodiningrat, kakak
kandung Sentot Ali Basya. Tentu latar belakang keinginan Belanda yang
sebenarnya tidak lain disebabkan terlalu payah menghadapi perang Diponegoro.
Satu-satunya keinginan Belanda ialah segera mengakhiri perang melalui jalan
apapun dan itu tak lain adalah tipu muslihat untuk menangkap “Napoleon Jawa”
itu.
Sentot
Ali Basya terlalu percaya kepada sang kakak dan lebih lagi terlalu percaya akan
“senyum” kolonialisme. Tentunya juga tidak bias dipungkiri terdapat
pertimbangan politis: Perang terlampau mahal, penderitaan rakyat suatu ketika
melampaui batas ketahanannya. Jika ada jalan lain dan lebih pendek dengan
sedikit resiko misalnya penyelesaian di meja perundingan, apa salahnya?!
Panglima
Sentot menerima tawaran Belanda, ia memasuki kota Yogyakarta dengan mendapatkan
upacara militer penuh sebagai seorang jendral tepat pada tanggal 24 oktober
1829. Tetapi ada perasaan aneh menyelinap dalam hatinya, mengapa hanya pembesar
kraton yang menyambutnya? Mengapa tidak satu perwira tinggi belanda menampakkan
diri? Dimana jendaral De Kock yang dijanjikan hendak menyambutnya untuk
berjumpa di meja perundingan setelah upacara penyambutan secara militer
usai?
Sentot
Ali Basya masuk perangkap belanda, ia disergap kemudian dijadikan tawanan
perang. Napoleon Jawa itu dipaksa belanda untuk bertempur menghadapi Imam
Bonjol yang sedang mengorbankan perang kemerdekaan di sumatera barat. Lagi-lagi
belanda menjalankan siasat kolonialismenya “farriq tasud” alias “divide
et impera”. Sentot Ali Basya dipaksa berangkat ke sumatera barat tanpa
pasukannya, akan tetapi ia memperlihatkan sikapnya bagaikan seekor singa garang
yang tak bisa dijinakkan. Di sumatera barat ia secara cerdik mengadakan kontak
dengan anak buah Imam Bonjol, ia menggabungkan diri ke dalam pasukan paderi
yang sedang mengahapi perang kemerdekaan dan merencanakan suatu kerja sama
untuk suatu ketika dapat mengusir belanda dari seluruh sumatera.
Namun
pada akhirnya Belanda mencium rencana tersebut, Sentot Ali Basya yang masih
dalam status tawanan perang belanda dikucilkan dari kawan-kawannya dan pada
suatu ketika ia ditangkap dan dikirim ke Batavia. Di Batavia ini Gubernur
Jendral Belanda mengeluarkan beslit (surat keputusan) sebagai tawanan perang
dan diasingkan ke Bengkulu.
Empat
tahun ia telah terpisah dengan pangeran Diponegoro pemimpin besarnya, empat
tahun ia berjuang menetang kekafiran dan kedzaliman penjajah, ia bertempur di
garis depan menentang maut yang disebar oleh kaki tangan musuh yang membuntuti
gerakan-gerakan militernya. Akan tetapi ia seorang panglima perang yang paling
ditakuti komandan-komandan belanda dari segala lapisan, bahkan Jendral De Kock
sendiri mengakuinya.
Sentot
Ali Basya seorang panglima kepercayaan pangeran Diponegoro yang telah
terpisahkan oleh jarak jasmani ribuan kilo meter dari medan pertempuran yang
langsung dipimpin oleh pangeran Diponegoro, akan tetapi secara rohani ia tetap
dekat dengan sang pangeran dan sahabat-sahabatnya dalam jihad perang
kemerdekaan. Selama 26 tahun Sentot Ali Basya hidup sebagai orang tawanan
perang dan setelah 22 tahun hidup sebagai orang buangan di Bengkulu. Disanalah
pada tanggal 17 april 1855, Napoleon Jawa itu wafat sebelum mencapai umur 50
tahun, jauh dari Madiun kota asalnya.
*KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah
Kebangkitan Islam Dan Perkembangannya di Indonesia, hal. 549 - 553.
Penerbit Al Ma’arif Bandung, 27 Juli 1979