Bukan Masalah: Idul Adha di Arab Saudi dan Indonesia Berbeda Hari
14.53
Oleh :T. Djamaluddin, Peneliti Matahari dan
Antariksa, LAPAN Bandung
(Dimuat di Pikiran Rakyat, 12 April 1997)
Kejadian
tahun 1411 H/1991 berulang lagi. Idul Adha di Indonesia dan di Arab Saudi
berbeda hari. Pada tahun 1991 wukuf di Arafah terjadi pada 21 Juni 1991 dan
Idul Adha di Arab Saudi jatuh pada 22 Juni 1991. Sedangkan di Indonesia Idul
Adha jatuh pada 23 Juni 1991.
Tahun
ini Arab Saudi mengumumkan hari wukuf 9 Dzulhijjah jatuh pada 16 April 1997 dan
Idul Adha jatuh pada 17 April 1997. Sedangkan di Indonesia Idul Adha akan jatuh
pada 18 April.
Menghadapi
kenyataan itu biasanya timbul beberapa pertanyaan di masyarakat. Mengapa
terjadi perbedaan hari Idul Adha? Mengapa Arab Saudi yang terletak di sebelah
barat Indonesia bisa lebih dahulu merayakan Idul Adha? Dan kapankah puasa hari
Arafah bagi masyarakat di Indonesia, 16 April atau 17 April?
Bila
mengetahui asal-usulnya, “perbedaan” itu sebenarnya semu belaka dan
pertanyaan-pertanyaan itu sangat mudah terjawab.
Dua
Garis Tanggal
Adanya
dua sistem kalender yang kita anut, syamsiah (solar calendar) dan
qamariyah (lunar calendar), menyebabkan kita akan menghadapi dua garis
tanggal: garis tanggal syamsiah dan garis tanggal qamariyah. Garis tanggal
mesti ada karena bumi kita bulat sehingga perlu pembatas pergantian hari.
Garis
tanggal syamsiah ditentukan berdasarkan kesepakatan internasional yang
menjadikan garis bujur 0 derajat melalui Greenwich dan garis bujur 180 derajat
melalui lautan Pasifik. Di sebelah timur garis tanggal internasional tanggalnya
lebih muda daripada yang di sebelah baratnya. Contoh yang paling baik adalah
catatan sejarah penyerahan Jepang kepada tentara sekutu. Kejadiannya sama, tetapi
buku-buku sejarah di Amerika menyebutnya penyerahan itu terjadi pada tanggal 14
Agustus 1945. Sedangkan buku-buku di Asia, termasuk di Indonesia, menyebutkan
tanggal 15 Agustus 1945.
Garis
tanggal qamariyah pun sama sifatnya seperti garis tanggal internasional. Di
sebelah timur garis tanggal qamariyah tanggalnya pun lebih muda dari pada di
sebelah baratnya. Bedanya, garis tanggal qamariyah tidak tetap pada garis bujur
tertentu. Posisinya selalu berubah setiap bulannya, tergantung posisi bulan dan
matahari.
Ada
dua definisi yang saat ini digunakan dalam pembuatan garis tanggal qamariyah.
Pertama, berdasarkan visibilitas hilal seperti yang dilakukan oleh IICP (International
Islamic Calendar Programme, berpusat di Malaysia). Dan yang kedua,
berdasarkan syarat minimal bulan di horizon pada saat matahari terbenam. Cara
yang ke dua yang biasanya digunakan di Indonesia. Cara ini pun yang paling
sederhana, namun cukup baik untuk menjadi kriteria pertama mengkonfirmasikan
rukyatul hilal.
Berdasarkan
perhitungan cara yang ke dua, garis tanggal awal Dzulhijjah 1417/1997 melalui
pantai barat Australia, pantai barat Sumatra, India, Kazakhstan, dan Rusia
bagian barat. Dengan demikian garis tanggal ini memisahkan Arab Saudi dengan
Indonesia.
Adanya
garis tanggal yang memisahkan Arab Saudi dan Indonesia itulah yang menyebabkan
Idul Adha di Arab Saudi lebih dahulu (menurut kalender syamsiah) daripada di
Indonesia. Pada hari Kamis 17 April di bagian barat garis tanggal itu (misalnya
Arab Saudi) sudah memasuki 10 Dzulhijjah (Idul Adha) sedangkan di sebelah
timurnya masih tanggal 9 Dzulhijjah.
Ini
analog dengan contoh penyerahan Jepang kepada tentara Sekutu tersebut di atas
yang terjadi tanggal 15 Agustus 1945 menurut catatan di Asia, tetapi menurut
catatan di Amerika. Hal ini terjadi karena adanya garis tanggal internasional
yang memisahkannya.
Perhitungan
astronomis yang lebih rinci bisa membuktikan keadaan itu. Ijtimak 1 Dzulhijjah
1417 terjadi pada 7 April 1997 pukul 11:04 UT atau pukul 14:04 waktu Arab
Saudi, pukul 18:04 WIB. Dengan kata lain, di Arab Saudi ijtimak terjadi sebelum
matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub) sedangkan di sebagian besar
Indonesia saat itu matahari sudah terbenam. Jadi berdasarkan saat ijtimak itu
saja dapat difahami bahwa masuknya awal Dzulhijjah di Arab Saudi lebih dahulu
daripada di Indonesia.
Bukti
lain bisa ditunjukkan dengan menghitung saat matahari terbenam dan bulan
terbenam. Hilal pada prinsipnya sudah wujud di ufuk barat bila saat bulan
terbenam lebih lambat daripada saat matahari terbenam. Pada tanggal 7 April, di
Mekkah matahari terbenam pukul 18:38 sedangkan bulan terbenam lebih lambat
lagi, pukul 18:45. Sehingga 1 Dzulhijjah jatuh pada tanggal 8 April dan Idul
Adha jatuh pada 17 April 1997.
Di
Indonesia pada tanggal 7 April itu bulan terbenam lebih dahulu daripada
matahari. Di Jakarta bulan terbenam pukul 17:54 sedangkan matahari terbenam
pukul 17:55. Dan di Bandung bulan terbenam pukul 17:51 sedangkan matahari
terbenam pukul 17:52. Bulan sudah di bawah ufuk pada saat matahari terbenam. Dengan
demikian 1 Dzulhijjah jatuh pada 9 April dan Idul Adha jatuh pada 18 April
1997.
Kapan
Puasa Arafah?
Wukuf
di Arafah dilaksanakan pada 9 Dzulhijjah. Bagi umat Islam yang tidak
melaksanakan ibadah haji, pada hari Arafah itu disunahkan berpuasa. Menurut
hadits Rasulullah SAW yang diceritakan Abu Qatadah r. a., puasa hari Arafah
akan menghapuskan dosa selama dua tahun, tahun yang berlalu dan tahun
mendatang. Oleh karenanya puasa hari Arafah ini tergolong puasa sunah yang
muakad (utama) sehingga banyak orang yang melaksanakannya.
Mendengar
pengumuman Arab Saudi bahwa wukuf di Arfah jatuh pada tanggal 16 April dan Idul
Adha jatuh pada 17 April, mungkin banyak orang yang bimbang kapan mesti
berpuasa hari Arafah.
Hari
Arafah adalah 9 Dzulhijjah. Di Indonesia, 9 Dzulhijjah jatuh pada 17 April.
Tetapi orang akan bimbang bila berpuasa pada 17 April karena hari itu di Arab
Saudi sudah Idul Adha. Menurut Nabi SAW, berpuasa pada hari raya haram
hukumnya. Kalau begitu, ada yang berpendapat berpuasalah pada tanggal 16 April
karena hari Arafah hanya ada di Arab Saudi, maka mengaculah pada Arab Saudi.
Sepintas
pendapat itu nampaknya benar. Kalau dikaji lebih lanjut sebenarnya pendapat itu
keliru. Pola pikir seperti itu hanya terjadi bila kita merancukan sistem
kalender syamsiah dengan sistem kalender qamariyah. Berpuasa hari Arafah di
Indonesia pada tanggal 16 April berarti kita tunduk pada kesamaan tanggal
syamsiah antara Arab Saudi dan Indonesia. Bukan pada ketentuan kalender
qamariyah, 9 Dzulhijjah. Pada tanggal 16 April itu di Indonesia baru tanggal 8
Dzulhijjah.
Ada
satu prinsip yang harus diingat dalam penentuan waktu ibadah: penentuan secara
lokal. Wukuf di Arafah ditentukan berdasarkan penentuan awal Dzulhijjah di Arab
Saudi. Awal Ramadan ditentukan berdasarkan rukyatul hilal di masing-masing
wilayah. Waktu salat ditentukan berdasarkan posisi matahari di masing-masing tempat.
Demikian pula waktu untuk melakukan puasa-puasa sunah, termasuk puasa hari
Arafah, 9 Dzulhijjah. Tidak bisa diganti menjadi tanggal 8 Dzulhijjah hanya
karena alasan perbedaan tanggal syamsiahnya.
Untuk
menjawab masalah kapan mesti berpuasa, baiklah kita runtut perjalanan waktu
berdasarkan peredaran bumi dengan berpegang pada keyakinan puasa Arafah tetap
harus 9 Dzulhijjah. Bagi Muslim di Timur Tengah puasa Arafah mulai sejak fajar
16 April. Makin ke barat waktu fajar bergeser. Di Eropa Barat waktu fajar awal
puasa kira-kira 3 jam sesudah di Arab Saudi, tetapi tetap tanggal 16 April.
Makin ke barat lagi, di pantai barat Amerika Serikat waktu fajar awal puasa
Arafah makin bergeser lagi, 11 jam setelah Arab Saudi. Saat itu orang di Arab
Saudi sebentar lagi berbuka puasa. Tanggalnya tetap 16 April. Di Hawaii, puasa
Arafah juga 16 April, tetapi fajar awal puasanya sekitar 13,5 jam setelah Arab
Saudi.
Bila
diteruskan ke barat, di tengah lautan Pasifik ada garis tanggal internasional.
Mau tidak mau sebutan 16 April harus diganti menjadi 17 April walaupun hanya
berbeda beberapa jam dengan Hawaii. Awal puasa Arafah di Indonesia pun yang
dilakukan sekitar 6,5 jam setelah fajar di Hawaii, dilakukan dengan sebutan
tanggal yang berbeda hanya gara-gara melewati garis tanggal internasional. Di
Indonesia puasa Arafah harus dilakukan pada 17 April 1997. Itulah tetap tanggal
9 Dzulhijjah, sama dengan tanggal qamariyah di Arab Saudi.
Berdasarkan
penalaran seperti itu pula, dalam konperensi kelender Islam internasional di Malaysia,
ada salah satu panduan penting yang dirumuskan yang bisa menjadi pegangan bagi
umat Islam dalam penentuan waktu ibadah. Panduan itu menyatakan bahwa dalam
menentukan awal Ramadan atau awal bulan Islam lainnya, jangan mengacu pada
wilayah yang di sebelah barat, tetapi mengacu pada wilayah di sebelah timur.
Berdasarkan panduan itu, kita akan semakin yakin dan mempunyai alasan kuat
untuk berpuasa Arafah pada 17 April, bukan mengikuti Arab Saudi yang berada di
sebalah barat Indonesia yang berpuasa pada 16 April.
Sumber :
https://tdjamaluddin.wordpress.com/2010/06/11/bukan-masalah-idul-adha-di-arab-saudi-dan-indonesia-berbeda-hari/
Strategi Pengembangan BUMDes sebagai Pilar Ekonomi Desa
09.21
Badan Usaha Milik Desa selanjutnya disingkat dengan BUMDes
diproyeksikan muncul sebagai kekuatan ekonomi baru di wilayah perdesaan. UU No 6 tahun 2014 tentang Desa memberikan payung
hukum atas BUMDes sebagai pelaku ekonomi yang mengelola potensi desa secara
kolektif untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa.
Apa
itu BUMDes? Istilah BUMDes muncul melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 72/2005
dan dirincikan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 39/2010.
BUMDes merupakan wadah usaha desa yang memiliki semangat kemandirian,
kebersamaan, dan kegotong-royongan antara pemerintah desa dan masyarakat untuk
mengembangkan aset-aset lokal untuk memberikan pelayanan dan meningkatkan
pendapatan ekonomi masyarakat dan desa.
Sebelum
lahirnya kebijakan di atas, inisiatif BUMDes sudah muncul di sejumlah daerah dengan
nama yang berbeda-beda, tapi mereka memiliki prinsip dan tujuan yang sama. Ada
yang menjalankan bisnis simpan-pinjam (keuangan mikro), ada juga yang
menyelenggarakan pelayanan air minum untuk mengatasi kesulitan akses masyarakat
terhadap air bersih.
Police
Paper Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) yang ditulis oleh Yunanto dkk
(2014:3-4) menjelaskan ada sejumlah kelemahan yang secara inheren ada pada
BUMDes, yaitu:
1.
Penataan
kelembagaan desa belum berjalan secara maksimal sehingga BUMDes pun belum
dilembagakan dalam format kepemerintahan dan perekonomian desa.
2.
Keterbatasan
kapasitas sumber daya manusia di desa untuk mengelola dan mengembangkan BUMDes
yang akuntabel dan berkinerja baik.
3.
Rendahnya
inisiatif lokal untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan
kesejahteraan sosial dan ekonomi warga desa.
4.
Belum
berkembangnya proses konsolidasi dan kerjasama antar pihak terkait untuk
mewujudkan BUMDes sebagai patron ekonomi yang berperan memajukan ekonomi kerakyatan.
5.
Kurangnya
responsivitas Pemda untuk menjadikan BUMDes sebagai program unggulan untuk
memberdayakan desa dan kesejahteraan masyarakat.
Secara
substansial, UU No 6 tahun 2014 mendorong desa sebagai subjek pembangunan
secara emansipatoris untuk pemenuhan pelayanan dasar kepada warga, termasuk
menggerakan aset-aset ekonomi lokal. Posisi BUMDes menjadi lembaga yang
memunculkan sentra-sentra ekonomi di desa dengan semangat ekonomi kolektif.
Apa
bedanya BUMDes dengan lembaga ekonomi masyarakat lainnya? Antara BUMDes dan
ekonomi pribadi maupun kelompok masyarakat lainnya sebenarnya tidak ada yang
perlu dipertentangkan. Semuanya saling melengkapi untuk menggairahkan ekonomi
desa. Namun, BUMDes merupakan lembaga yang unik dan khas sepadan dengan
keunikan desa.
Yunanto
(2014:7) menjelaskan keunikan BUMDes sebagai berikut:
1.
BUMDes
merupakan sebuah usaha desa milik kolektif yang digerakkan oleh aksi kolektif
antara pemerintah desa dan masyarakat. BUMDes merupakan bentuk public and
community partnership atau kemitraan antara pemerintah desa sebagai sektor
publik dengan masyarakat setempat.
2.
BUMDes
lebih inklusif dibanding dengan koperasi, usaha pribadi maupun usaha kelompok
masyarakat yang bekerja di ranah desa. Koperasi memang inklusif bagi
anggotanya, baik di tingkat desa maupun tingkat yang lebih luas, namun koperasi
tetap ekslusif karena hanya untuk anggota.
Lalu,
apa saja ruang usaha yang bisa dilakukan oleh BUMDes? UU No 6 tahun 2014 pasal
87 ayat 3 menyebutkan BUMDes dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau
pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya,
BUMDes dapat menjalankan pelbagai usaha, mulai dari pelayanan jasa, keuangan
mikro, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya. Sebagai contoh, BUMDes
bisa membentuk unit usaha yang bergerak dalam keuangan mikro dengan mengacu
secara hukum pada UU Lembaga Keuangan Mikro maupun UU Otoritas Jasa Keuangan.
Aksa
(2013) menjelaskan ada empat jenis bisnis yang bisa dikembangkan oleh BUMDes,
antara lain:
1.
BUMDes
tang bertipe serving. BUMDes semacam ini menjalankan bisnis sosial yang
melayani, yaitu melakukan pelayanan publik kepada masyarakat sekaligus juga
memperoleh keuntungan finansial dari pelayanan itu. Usaha ini memanfaatkan
sumber daya okal dan teknologi tepat guna, seperti usaha air minum desa dan
usaha listrik desa.
2.
BUMDes
yang bertipe banking. BUMDes ini menjalankan bisnis uang seperti bank desa atau
lembaga perkreditan desa. Modalnya berasal dari ADD, PADes, tabungan masyarakat
serta dukungan dari pemerintah. Bisnis uang desa ini mengandung bisnis sosial
dan bisnis ekonomi. Bisnis sosial artinya bak desa merupakan proteksi sosial
terhadap warga desa, terutama kelompok warga yang rentan dan perempuan dari
jeratan para rentenir. Bisnis ekonomi artinya bank desa berfungsi untuk
mendukung permodalan usaha-usaha skala mikro yang dijalankan oleh pelaku
ekonomi di desa.
3.
BUMDes
bertipe renting. BUMDes ini menjalankan bisnis penyewaan barang-barang
(perangkat pesta, traktor, alat transportasi, ruko, dan lain sebagainya), baik
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun untuk memperoleh pendapatan desa.
4.
BUMDes
bertipe brokering. BUMDes ini berperan sebagai lembaga perantara, seperti jasa
pelayanan kepada warga maupun usaha-usaha masyarakat, misalnya jasa pembayaran
listri, desa mendirikan pasar desa untuk memasarkan produk-produk yang
dihasilkan masyarakat. BUMDes juga bisa membangun jaringan dengan pihak ketiga
untuk memasarkan produk-produk lokal secara lebih luas.
Sumber : http://desamembangun.or.id/2014/04/strategi-pengembangan-bumdes-sebagai-pilar-ekonomi-desa/
HASIL INVESTASI
10.46
NISBAH
DEPOSITO
|
|||||
SEPTEMBER
|
OKTOBER
|
NOVEMBER
|
|||
Rp
|
Ek
(%)
|
Rp
|
Ek
(%)
|
Rp
|
Ek
(%)
|
NO
|
NAMA
|
SIMPANAN
ANGGOTA
|
NISBAH
DEPOSITO
|
BAGI
HASIL ANGGOTA*
|
BAGI
HASIL PENGURUS**
|
|
1
|
AHMAD WIHYA DIPYANA, SP,.M.Si
|
100.000
|
||||
2
|
MIMIN MUTI’AH, S.Pd,. MM
|
100.000
|
||||
3
|
NASYARUDDIN, S.Si
|
1.350.000
|
||||
4
|
SUMANTA, S.Ag
|
100.000
|
||||
5
|
EKO WALUYO, MM
|
50.000
|
||||
6
|
BUDI SETIAWAN, SE
|
150.000
|
||||
7
|
A.HAFIDZ, S.Pd.I
|
50.000
|
||||
8
|
OMAN SUPRAMAN, S.Ag
|
100.000
|
||||
9
|
NURASIAH, S.Pd
|
100.000
|
||||
10
|
YANGTO, SH, MH
|
100.000
|
||||
11
|
IIN MUKHLISIN, S.IP
|
100.000
|
||||
12
|
WAHID PUTERA, ST
|
50.000
|
||||
13
|
KHAIRIL AMRI, S.Pd
|
200.000
|
||||
JUMLAH
|
2.550.000
|
Tolikara, Idul Fitri 2015: Tentang Konflik Agama, Mayoritas-Minoritas dan Perjuangan Tanah Damai
08.58
Tim Penulis Program Studi Agama dan Lintas Budaya/Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.
Suasana Idul Fitri di Kabupaten Tolikara, Papua terusik dengan berita kerusuhan yang menyebabkan satu orang meninggal dan belasan terluka karena tembakan aparat; serta puluhan kios dan sebuah musholla di dekatnya dibakar (menurut satu versi, musholla bukan target utama tapi ikut terbakar). Sejauh ini telah muncul berita dari beberapa sumber, yang sebagian tampaknya masih perlu diverifikasi. Namun, sebagian lain, sayangnya, dalam keterbatasan informasi yang ada kini, sudah “menggoreng” berita itu untuk melakukan provokasi lebih jauh, hingga ke tingkat menggiring isu ini menjadi konflik kekerasan antara Kristen dan Muslim—bukan hanya di Tolikara, tapi Papua, bahkan jangkauannya diperluas hingga Indonesia, mungkin juga ada yang memperluasnya untuk berbicara mengenai Muslim-Kristen di dunia!
Informasi lebih akurat masih diperlukan. Tulisan ini tidak memberikan tambahan informasi mengenai peristiwa itu, tapi mencoba memberikan perspektif untuk memahaminya dengan lebih baik. (Untuk berita-berita aktual, lihat misalnyadisini dan beberapa tautan lain lain dalam tulisan ini.)
Apakah ini “konflik agama”?
Pertama, setiap ada konflik yang melibatkan atau menggunakan simbol-simbol agama dan mengenai umat beragama, hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa setiap konflik (dan, sebetulnya, setiap peristiwa sosial) tidak pernah memiliki hanya satu sebab tunggal. Istilah “konflik agama” bisa saja digunakan untuk peristiwa dimana simbol agama dirusak, misalnya, atau identitas keagamaan orang-orang yang terlibat dalam konflik itu (pelaku atau korban) tampak nyata. (Lebih jauh, lihat pendefisian “konflik agama” dalam Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi,Pemolisian Konflik Keagaman di Indonesia, PUSAD Paramadina dan MPRK UGM, 2014, hal. 12, yang berbicara mengenai karakteristik, bukan sebab, konflik agama.)
Namun setiap konflik biasanya memiliki banyak penyebab. Konflik agama tidaklah sepenuhnya mengenai agama. Sebagai contoh, dalam laporan CRCS mengenai Politik Lokal dan Konflik Keagamaan, semua konflik keagamaan yang dibahas menunjukkan ciri itu. Konflik yang dibahas termasuk kasus penyerangan sebuah komunitas Syi’ah di Sampang, kasus Gerjea HKBP Filadelfia di Bekasi, dan kasus pembangunan Masjid Nur Musafir di Batulpat, Kupang.
Ketiga kasus itu menunjukkan bagaimana konflik terjadi karena bertemunya kepentingan-kepentingan politik lokal dengan (manipulasi) simbol keagamaan. Pilkada di daerah-daerah itu menyediakan kesempatan bagi berkembangnya jenis politik identitas yang buruk. Dengan demikian faktor pentingnya di sini adalah politik lokal (yang biasanya memanas di sekitar waktu Pilkada). Dalam kasus-kasus lain mungkin ada faktor sosial-politik-ekonomi lain. Inilah rumusan yang cukup kuat untuk digeneralisir: apa yang disebut “konflik agama” mungkin memiliki unsur identitas agama, tapi jarang menjadi penyebab utama. Menyebut konflik agama seperti ini sebagai diakibatkan intoleransi adalah penjelasan yang terlalu mudah—sama halnya dengan konflik-konflik agama di banyak tempat lain.
Dalam kasus di Tolikara, konteks penting adalah kompleksitas dan kerentanan persoalan Papua pada umumnya. Kerentanan ini, seperti bisa dilihat dalam beragam kasus-kasus non-agama lainnya di Papua, kerap direspon oleh aparat keamanan secara represif dengan menggunakan senjata—untuk melukai atau membunuh. Secara lebih khusus, Kabupaten Tolikara sendiri cukup rawan-politik, seperti tampak dalam konflik di sekitar Pilkada pada Februari 2015, klik beritanyadisini.
Satu kecenderungan lain adalah adanya persaingan antara Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang mendominasi di daerah itu dengan kelompok agama lainnya (termasuk dengan Kristen denominasi yang berbeda). Situasi ini bisa jadi sudah menyediakan lahan yang siap diolah sewaktu-waktu untuk meletusnya konflik jenis apapun. Maka hal remeh, seperti soal speaker bisa dengan mudah meletuskan konflik kekerasan, bahkan merenggut korban jiwa. Jadi bagaimana mengidentifikasi “kasus Tolikara”? Apakah kasus Tolikara adalah kasus GIDI, atau kasus konflik yang diletuskan menjadi kekerasan akibat aparat yang represif secara berlebihan, atau kasus lain?
Agama dan Adat: sumber perdamaian?
Penanganan represif kerap muncul dari kesan yang sering dimunculkan bahwa Papua adalah daerah yang rawan konflik. Tapi kalaupun ada kebenaran dalam kesan itu, penyebab utamanya adalah konflik yang selama lebih dari 50 tahun terakhir ini tidak berhasil diselesaikan, utamanya oleh pemerintah pusat.
Isu utama “kerawanan Papua” sesungguhnya jauh dari agama. Dalam Papua Road Map, misalnya, yang merupakan hasil kajian LIPI (2008), ada empat masalah utama yang diidentifikasi sebagai akar persoalan Papua, dan di sana, agama sama sekali bukan sumber masalah. Tanpa mengingkari adanya gesekan-gesekan antar umat beragama (Kristen dengan Muslim, denominasi Kristen tertentu dengan denominasi lain dan dengan Katolik, juga antara kelompok-kelompok Muslim sendiri), lembaga-lembaga keagamaan arus utama sebetulnya justru lebih dikenal sebagai aktor perdamaian.
Dalam konteks ini salah satu contoh yang bisa diambil adalah Pater Neles Tebay, seorang pemimpin Katolik yang dikenal juga sebagai Koordinator Jaringan Damai Papua. Dalam pernyataannya mengenai insiden di Tolikara, Pater Neles mengungkapkan, “Budaya Papua tidak mengajarkan orang untuk mengganggu, apalagi membakar tempat ibadah.” Menurutnya, pembakaran mushala di Tolikara adalah peristiwa pertama dalam sejarah Papua di mana sebuah tempat ibadah dibakar. “Maka, sebagai orang Papua, saya memohon maaf atas peristiwa yang melanggar norma adat ini,” katanya. Lihat pernyataan Pater Neles Tebay disini.
Dalam sebuah diskusi pada tahun 2013 yang diselenggarakan Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM (CRCS) bersama STAIN Papua dan melibatkan tokoh-tokoh agama, yang muncul justru adalah peran agama sebagai sumber modal sosial untuk perdamaian. Kisah-kisah kerukunan antar agama di masa kecil muncul dari banyak peserta. Ikatan adat yang amat kuat mampu melampaui batas-batas agama. Beberapa dari simbol-simbol adat itu telah menjadi objek penelitian, misalnya tulisan Budi Asyhari, Mutiara Terpendam Papua.
Ikatan adat yang kuat dan melampaui batas agama itu sebetulnya juga muncul di banyak tempat di Indonesia. Sebagian besar meyakini bahwa modal sosial yang berakar kuat dalam sejarah itu sebetulnya masih ada. Namun, dan ini adalah juga fenomena yang muncul di banyak tempat, ikatan adat itu dalam perkembangannya dapat kalah oleh kekuatan-kekuatan sosial-politik-ekonomi baru yang mencari bahan-bahan tambahan dalam menciptakan konflik; modal sosial itu dapat habis tergerus, jika tak dirawat. Dalam tekanan seperti itu, potensi agama dapat berubah—dari modal sosial untuk perdamaian menjadi potensi konflik. Seperti disampaikan Dr. Idrus Alhamid, Ketua STAIN Al-Fattah Jayapura (dalam disertasinya di UGM, 2014), meskipun agama tak menjadi sumber konflik di Papua, kini ada kekhawatiran bahwa dalam situasi yang terus rawan, agama dapat menjadi sumber konflik baru. Sebelum situasinya demikian memburuk, modal sosial adat dan agama ini perlu diremajakan kembali.
Isu pendatang-orang asli dan mayoritas-minoritas
Di Papua, sesungguhnya sumber polarisasi yang lebih penting bukanlah agama, namun antara pendatang dan orang asli Papua. Polarisasi yang tak sehat ini mewarnai kehidupan sosial dan ekonomi, dan sebagiannya muncul dalam UU Otonomi Khusus Papua. Politik identitas yang memberikan keistimewaan pada orang asli Papua dapat bermakna baik jika dipahami sebagai affirmative action, namun dapat pula menjadi penegasan polarisasi yang terlalu jauh. Yang menarik, polarisasi itu bahkan muncul dalam kelompok-kelompok dalam suatu agama tertentu. Ada ketegangan dan klaim-klaim identitas yang dibuat untuk membedakan Kristen pendatang dan Kristen asli Papua; juga antara Muslim Papua dan Muslim pendatang.
Dalam diskusi yang disebut di atas, ada kekhawatiran bahwa ketegangan kuat antar-agama sebagiannya dipicu oleh kelompok-kelompok agama pendatang itu. Banyak dari kelompok ini tak berbagi kearifan lokal dan ikatan adat yang melampaui batas agama itu. Jika analisis ini diteruskan lebih jauh, mungkin kita akan menyalahkan kelompok-kelompok pendatang. Namun ini terlalu sederhana juga. Perubahan demografi yang diakibatkan oleh makin hilangnya batas-batas antar wilayah sulit dielakkan—dan ini benar bukan hanya untuk batas suatu Propinsi, tapi bahkan juga batas negara. Saat ini kita tak bisa bermimpi akan adanya wilayah yang “murni” hanya dihuni “orang asli”. Yang jadi persoalan bukanlah melawan kecenderungan itu, tapi bagaimana memperkuat diri sendiri (atau daerah sendiri) untuk mampu bertahan menghadapinya. Setidaknya ilustrasi ini menunjukkan bahwa tantangan Papua, selain datang dari perlakuan negara yang masih dapat terus dikritik, juga dari dalam diri Papua sendiri, yang terus berubah.
Satu hal lain yang perlu dicermati, yang telah sempat muncul dalam respon terhadap peristiwa di Tolikara, adalah menyangkut “mayoritas Kristen” yang menindas “minoritas Muslim” di Papua. Ini adalah penyederhanaan yang berbahaya dan amat keliru. Berbahaya, karena tampaknya dalam retorika seperti itu terkandung keinginan untuk menjadikan konflik multi sebab menjadi konflik berdimensi-tunggal, bahwa seakan-akan ini semuanya adalah persoalan agama. Amat keliru karena dua hal. Pertama, seperti disebut di atas, tak ada konflik yang “murni konflik agama”. Kedua, yang lebih penting, ada imajinasi yang keliru bahwa setiap kelompok agama adalah suatu entitas tunggal yang terintegrasi sepenuhnya. Ini mengingkari kenyataan adanya beragam kelompok dalam satu agama, dan bahwa kelompok-kelompok tertentu dalam suatu agama dapat lebih mudah bekerjasama (atau berkonflik) dengan kelompok-kelompok tertentu dari agama lain. GIDI atau PGI tak mewakili semua Kristen; NU, Muhammadiyah, MUI, atau FPI tak mewakili semua Muslim. Kalaupun identifikasi keagamaan mesti dibuat, maka ia tak bisa mengacu pada identifikasi besar Kristen atau Muslim, tapi mesti lebih akurat: Kristen yang mana, Muslim yang mana?
Analisis ini benar bukan hanya untuk kasus Papua—namun juga dalam setiap konflik agama. Beberapa konflik di Jawa, dimana Muslim adalah pelakunya, juga tak bisa dengan mudah disebut sebagai “mayoritas Muslim” menindas “minoritas non-Muslim”. Dalam kenyataannya, biasanya yang menjadi pelaku penindasan adalah kelompok-kelompok tertentu dalam suatu agama. Dalam konflik di beberapa wilayah di Jawa, Muslim yang menjadi penyerang adalah kelompok Muslim tertentu, yang dalam banyak kasus akan ditemukan afiliasi pada kelompok-kelompok yang mirip, yang justru merupakan minoritas (dalam hal jumlah) dalam agama itu sendiri.
Terlepas dari itu, motivasi keliru untuk “balas dendam” nyatanya terkadang muncul dalam konflik-konflik semacam ini. Perlakuan terhadap sebagian pemeluk Kristen di Jawa Barat, misalnya, mungkin akan memicu Kristen di Nusa Tenggara Timur untuk mempersulit Muslim di sana; demikian juga, perlakuan terhadap Muslim di Papua mungkin memunculkan kemarahan Muslim di Jawa Timur. Demografi keagamaan Indonesia yang cukup khas, di mana di daerah-daerah tertentu ada mayoritas (jumlah numerik) pemeluk agama yang berbeda, bisa menjadi kekuatan penyeimbang, namun bisa juga menjadi sumber motif balas dendam itu. Karena itu, pemerintah dan aparat keamanan mestinya sadar bahwa pelanggaran atas hak untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan di tingkat lokal dapat bertransformasi menjadi ancaman keamanan nasional.
Indonesia: Melampaui kategori agama
Point terakhir ini mengingatkan kita akan pentingnya melakukan analisis yang melampaui kategori agama, bahkan dalam konflik-konflik agama. Di Indonesia yang, menurut Konstitusi, mencita-citakan suatu masyarakat dimana agama-agama dapat hidup berdampingan dan berperan secara konstruktif, kesetiaan utama kelompok-kelompok agama tak berhenti pada agamanya sendiri. Solidaritas pun lebih mudah dibangun di antara kelompok lintas agama yang memiliki aspirasi keindonesiaan yang sama.
Dalam kaitan ini, kita patut berbangga bahwa dalam setiap konflik biasanya yang ada bukan hanya berita sedih tapi juga berita gembira tentang kuatnya semangat pembelaan terhadap kehidupan bersama yang melampaui kelompok masing-masing. Pernyataan yang dengan segera dikeluarkan oleh organisasi-organisasi masyarakat Kristen dan Muslim arus utama menunjukkan hal itu. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), memulai pernyataannya dengan menyesalkan peristiwa yang telah menodai kekhusukan dan kegembiraan umat Muslim dalam merayakan Idul Fitri, serta mengecam dengan keras pembubaran Sholat Ied dan pembakaran mesjid. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua “Menyerukan kepada umat Islam di seluruh Indonesia untuk tidak menjadikan peristiwa kekerasan Tolikara ini sebagai alasan untuk melahirkan kekerasan-kekerasan baru, atas nama “jihad”.”
Masyarakat Papua—apapun agamanya—dengan segala keterbatasannya, dengan segala kesulitannya, dan perlakuan yang buruk selama puluhan tahun, telah kerap diuji dengan persoalan-persoalan sulit semacam ini. Sementara masyarakat memperkuat dirinya dengan aliansi-aliansi dan ide-ide yang melampaui batas-batas agamanya, kerap kali yang disesalkan adalah pemerintah pusat dan daerah yang salah langkah atau bahkan memperburuk situasi, dan tindakan aparat keamanan yang represif secara tak terukur. Yang terakhir ini tampak jelas dalam penanganan kasus Tolikara.
Indonesia tak kurang memiliki contoh-contoh keberhasilan penanganan konflik besar dan kecil—dari Ambon hingga Aceh. Namun Papua mungkin adalah ujian terberat saat ini. Selain menangani kasus Tolikara hingga tuntas, tugas membangun Papua sebagai Tanah Damai—bagi seluruh masyarakat Papua, terlepas dari latar belakang agamanya—merupakan salah satu tugas besar Indonesia, pemerintah maupun masyarakatnya. Setiap dari kita berhutang untuk memberikan sumbangan ke arah itu.
Kembali ke kasus Tolikara, sumbangan terkecil adalah tidak memperburuk situasi dengan menjadikan kasus ini sebagai bahan provokasi. Yang diperlukan adalah arus informasi yang positif, bukan yang membakar. Khususnya untuk kita yang berada di luar Papua, baik Muslim ataupun Kristen, klaim-klaim keagamaan yang dibangkitkan dengan menjadikan kasus Tolikara sebagai pembenaran mungkin hanya bermanfaat untuk kepentingan kelompok sendiri, bukan untuk kepentingan saudara-saudara kita di Papua.
Setelah itu, kita dapat membantu mendesak pemerintah untuk lebih serius berpikir—dan bertindak—mengenai Papua, dengan satu catatan penting: Papua telah kerap menjadi arena tindakan kekerasan, maka pendekatan dialogis harus diprioritaskan. Tanpa itu, sulit bagi kita untuk berbicara mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber : http://crcs.ugm.ac.id/main/news/3511/tolikara-idul-fitri-2015-tentang-konflik-agama-mayoritas-minoritas-dan-perjuangan-tanah-damai.html