Kita sering mendengar dan membaca bahwa penyebab Perang
Diponegoro itu cuma gara-gara rebutan tanah, kalau bukan gara-gara tanahnya
dipakai buat pelebaran jalan, malah gara-gara tanahnya itu mau dijual tapi
Pangeran Diponegoro tidak terima.
Pada saat itu tepatnya
tanggal 18 September 1811, terjadilah perpindahan kekuasaan Belanda (Gubernur
Jenderal Jansen) kepada kekuasaan Inggris (Gubernur Jenderal Raffles). Setelah
Pulau Jawa, Timor, Makasar, dan Palembang dikuasai, Raffles melalui East Indian
Company (EIC) juga menginginkan Malaka, Singapura, Srilanka, dan Tanjung
Harapan.
Jenderal Raffles ini rupanya menyadari dan tidak mau menganggap
remeh. Maksudnya, walaupun kekuatan ulama dan santri di Jawa ini sebenarnya
hanya sepersembilan belas dari jumlah penduduk pulau Jawa, mereka memiliki
sikap anti penjajah yang konsisten dan tidak mudah digoyahkan. Apalagi kalau
para ulama dan santri ini membangun kerjasama dengan Sultan atau Bupati, sudah
barang tentu akan membahayakan posisi keberadaan penjajah Inggris dan Belanda.
Nah yang perlu diketahui, ketika itu kehidupan pembesar-pembesar
istana di Yogyakarta telah banyak menyimpang dari ajaran Islam. Mereka para
bangsawan telah lupa diri dan malah suka akan kehidupan mewah serta menindas
rakyat. Sangat disayangkan, rupanya para penjajah ini telah berhasil menjadikan
bangsawan tidak lagi memikirkan nasib rakyatnya, bahkan sedikit demi sedikit
melepaskan diri dari ajaran Islam.
Imperialis Belanda telah menciptakan dan mengembangkan pola
pikir kalangan bangsawan agar menjauhi dan menolak hukum Islam, setelah itu
agar tidak tunduk kembali kepada ulama. Maka dari itu dikenalkanlah dan
dikembangkanlah ajaran Kejawen.
Tahu akan kemunduran kehidupan Islami yang ada, maka Pangeran
Diponegoro mencoba untuk mengembalikan kondisi semula dengan mempelopori
kebangkitan kembali umat Islam akan kesadarannya yang telah hilang dari ajaran
Islam. Di tengah tantangan ini, sebagaimana yang telah terjadi juga di Minang
Sumatera Barat, Pangeran Diponegoro mengenakan busana bersurban dan berjubah.
Tampil sebagai ulama sekaligus sultan. Ini seperti halnya yang dilakukan oleh
Imam Bonjol dalam upayanya menyadarkan masyarakat Minang terhadap ajaran Islam
yang mana juga mengenakan surban dan berbusana jubah putih.
Perang pun dilancarkan dengan bergerilya. Gerakan perlawanan ini
rupanya juga mendapatkan dukungan dari Kiai Madja dan para pemuda. Tak hanya
dari masyarakat biasa, beberapa bangsawan pun ikut serta melakukan perlawanan
bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Kemudian ditunjuklah Sentot Ali Basyah
Prawirodirdjo sebagai panglima perangnya.
Saat itu pemerintahan kolonial Belanda telah bertindak
semena-mena terhadap masyarakat. Dengan membebani pajak sangat tinggi, mulai
dari pajak rumah berdasarkan jumlah pintu dan jendela. Padahal kita tahu rumah
model Jawa zaman dahulu, yaitu Joglo, pintunya banyak belum lagi jendelanya.
Terus pajak dari hasil padi yang dihitung dari setiap ikat padi
yang dipanen. Pajak binatang seperti kerbau, sapi, kuda, kambing, dan burung.
Tak berhenti sampai di situ saja, bahkan pemerintahan kolonial Belanda
menerapkan pajak jalan bagi setiap orang dan bayi yang sedang digendong. Itu
semua dinilai sebagai pengguna jalan dan yang melewati gerbang jalan harus
bayar pajak.
Jelas saja masyarakat luas bangkit ikut melawan dan berpihak
kepada Pangeran Diponegoro karena tertindas dan terlilit utang oleh berbagai
beban pajak. Tapi ampunnya masih ada bagian dari mereka yang malah manut sama
Belanda, bagian dari masyarakat kita sendiri, orang Indonesia.
Perang Diponegoro ini berlangsung di Yogyakarta dan sekitarnya
yang mana letaknya tidak begitu jauh dari pusat pemerintahan kolonial belanda,
Batavia. Tentu saja hal ini bisa menjadi ancaman nyata bagi kelestarian
penjajahan mereka. Maka dari itu, mereka berusaha sekuat tenaga untuk meredam
dan menghentikan Perang Diponegoro yang mempunyai tujuan mengembalikan dan
membangkitkan kembali tegaknya hukum Islam di pulau Jawa yang dipimpin oleh
Pangeran Diponegoro. Bisa berabe kalau menyebar dan menjadi inspirasi daerah
lain buat mengenyahkan penjajah Belanda dari Indonesia.
Nah ketika pengorganisasian untuk mengubah kekuatan massa telah
berhasil menjadikan kekuatan perlawanan revolusi secara militer, rupanya
Pangeran Diponegoro menghadapi masalah lain. Ternyata beliau dihadapkan dengan
lawan yang bukan hanya Belanda tapi juga orang Indonesia sendiri. Mereka adalah
laskar Susuhunan Surakarta dan Madura yang malah menjadi lawan terdepan
Pangeran Diponegoro.
Sekali lagi, cara penjajah menghancurkan kita melalui perpecahan
dan adu domba berhasil. Semula perang Diponegoro ini menyingkirkan penjajah dan
mendorong gerakan anti penjajah Belanda, namun akhirnya malah berubah menjadi
kancah perang saudara sesama Muslim.
Korban pun berjatuhan, yang terbesar adalah dari rakyat
Yogyakarta dan rakyat Surakarta sendiri yang mana sudah menderita kelaparan dan
wabah penyakit, ditambah pula dengan derita perang saudara. Inilah yang
menjadikan Perang Diponegoro berlangsung singkat yaitu 1825-1830. Sebab
lainnya, juga karena tidak didukung dana perang yang memadai. Tapi bukan karena
itu saja. Mengapa perang segera cepat berhasil diredakan oleh penjajah Belanda?
Itu karena tipu daya pihak Belanda dalam perundingan, sehingga
mampu menjadi perangkap penangkapan Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830.
Yang menarik dan harus dicatat, pada saat itu sebenarnya Pangeran Diponegoro
telah mendapatkan dukungan dari 108 kiai, 31 haji, 15 syaikh, 12 pegawai
penghulu Yogyakarta, 4 guru tasawuf. Tapi mengapa masih bisa juga dilumpuhkan?
Padahal angka tersebut menunjukkan betapa luas dan besar
pengaruh Pangeran Diponegoro baik di kalangan bangsawan maupun rakyat jelata.
Inilah kejelian dan kelicikan penjajah kolonial Belanda. Yaitu berusaha
membangkitkan kembali gerakan anti ulama melalui Kasunanan Surakarta. Umat
Muslim waktu itu akhirnya berhasil dikelabui, dan tidak mau mendengar perkataan
ulama.
Paling tidak, saat itu Susuhunan Amangkurat I dalam rangka
kerjasamanya dengan VOC telah melakukan pembunuhan masal terhadap ulama, antara
5.000 sampai 6.000 ulama. Atas dasar latar belakang sejarah itulah dia lebih
membelot ke penjajah bahkan mengkhianati saudaranya sendiri, Kasunanan
Surakarta pun mengulangi kembali kerjasama tersebut seperti pada masa bersama
VOC dulu.
Akhirnya Kasunanan Surakarta pada saat terjadinya Perang
Diponegoro malah memihak imperialis Belanda. Tentu saja ini membingungkan dan
menyulitkan Pangeran Diponegoro karena pada awalnya ingin mengembalikan tatanan
ajaran Islam dengan menyingkirkan Belanda.
Ini semakin memperkuat teori W.F. Wertheim yang mengungkapkan
bahwa keberhasilan kerajaan protestan Belanda dalam menaklukkan Islam itu
karena menggunakan tenaga bangsawan-bangsawan pribumi yang bersedia bekerjasama
dan membelot. Tanpa adanya bantuan dan pertolongan dari bangsawan pribumi maka
tidak akan mungkin pemerintah kolonial Belanda dapat melemahkan perlawanan
ulama dan santri yang mana kita ketahui mendapat dukungan besar dari seluruh
rakyat.
Jadi, Perang Diponegoro ini paling tidak memberi kita pelajaran
bahwa Islamlah yang menjadi pusat inspirasi perlawanan terhadap penjajah
Belanda. Kolonial telah mengetahui dan takut jika Islam benar-benar menjadi
inspirator gerakan karena sudah pasti akan menentang eksistensi mereka di
Indonesia. Namun sekali lagi ini semua disamarkan, dikaburkan, dan diusahakan
untuk dihilangkan dari sejarah Indonesia.
Sumber: Akhmad Jenggis P., “Kebangkitan Islam”, Yogyakarta: NFP
Publishing, Cet. I, Mei 2011, hal. 140-147