oleh : Daniel Dhakidae
Masa ketika pasar—market, market economy—menguasai dunia,
maka bahasa politik juga berubah menjadi bahasa berbau pasar, bisnis—market-lingo.
Semuanya berlangsung sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan negara pun
disebut sebagai manajemen kenegaraan. Seorang bisa menduduki posisi tertinggi
dalam birokrasi kenegaraan, seperti kursi menteri, kalau kemampuan
manajerialnya bisa diandalkan. Dengan demikian, apa yang disebut sebagai statecraftsama
dengan atau disamakan saja dengan dan bahkan menjadi state management.
Titik-temu antara
keduanya bukan tidak ada; selalu saja ada titik di mana keduanya berpapasan,
beriring, dan berdempetan justru karena keduanya berurusan dengan sesuatu yang
sama, mirip, yaitu kemaslahatan. Titik-temu utama sekali lagi berlangsung dalam
bahasa ketika bisnis dan politik terungkap dalam nama, yang juga tidak asing
dalam dunia politik bangsa ini, ketika kabinet disebut sebagai business
cabinet, atau zakenkabinet yang sangat populer dalam
bahasa politik bangsa ini sejak mengenal demokrasi parlementer. Yang paling
menarik bukan bahwa kedua istilah itu dipakai dan populer, tetapi sejak wajah
parlementer liberal dalam dunia politik di sini dua istilah itu tidak pernah
mendapatkan terjemahan dalam bahasa nasional hingga kini, meskipun samar-samar
ada dalam istilah “kabinet kerja”, karena nemesisnya sebagai “kabinet politik”
tidak pernah populer.
Seluruh serial Kabinet
Pembangunan Orde Baru adalah zakenkabinet, meski tidak ada
seorangpun peduli dengan nama itu, dan tidak disebut seperti itu. Yang tidak
populer bukan berarti tidak ada. Di pihak lain, juga selalu ada yang bisa
dianggap sebagai wakil partai politik. Namun, sekali lagi, bukan ada atau
tiadanya nama dan wakil partai, tetapi siapa yang menentukan ada dan tiadanya
itu.
Dengan dua kriteria
itu mari kita lihat apa yang terjadi dengan yang selalu dikesankan sebagaizakenkabinet dari Kabinet
Kerja Presiden Joko Widodo, justru karena posisi kabinet berada di
puncak paling tinggi dari seluruh jajaran birokrasi. Namanya sendiri
mengarahkan kita untuk memahaminya sebagai zakenkabinet, yaitu
kabinet yang tidak berbasa-basi dengan politik dalam arti tidak berbagi kursi
dengan partai politik, tetapi kemampuan seseoranglah yang menentukan ditunjuk
atau tidak ditunjuknya dia sebagai menteri.
Namun, dari proses
pembentukan yang penuh tawar-menawar sampai jauh-jauh hari dan dari
komposisinya sama sekali tidak mengesankan sebagai zakenkabinet:
suatu kabinet yang urusannya adalah kerja dan orang yang ditempatkan di dalam
kementerian adalah para ahli di bidangnya. Sedemikian rupa, sehingga bisa dikatakan
banyak tempat salah orang dan banyak orang salah tempat. Dalam hubungan itu
muncul soal antara manajemen dan kemampuan manajerial seseorang yang dipakai
sebagai kriteria perumus keputusan.
Manajemen bisnis dan
memimpin kementerian berbeda dalam beberapa hal inti. Manajemen bisnis berpijak
pada saham atau kewenangan yang diperoleh dari para pemegang saham, one
share one vote. Semakin besar saham semakin besar kewenangan dan keputusan
yang diambil berdasarkan itu tidak atau sulit digugat. Manajemen kementerian
sama sekali tidak seperti itu, karena semua berpijak padastate power,
kekuasaan kenegaraan, dan yang menjadi perhatian adalah para stakeholders,
yaitu seluruh rakyat yang berlapis-lapis bangsa. Sebagai pengelola kekuasaan
kenegaraan, keputusannya mengikat, otoritatif, dan berlaku universal dalam
batas kenegaraan. Prinsip binding, authoritative, dan
universal merumuskan seluruh basis kerjanya. Namun, semuanya berdasarkan hukum
administrasi negara yang ketat.
Dalam bisnis tidak ada
sanksi dalam bentuk coercion, sedangkan dalam kementerian ada.
Dalam bisnis tidak dimungkinkan membakar kapal orang lain atau bangsa lain.
Dalam statecraft pembakaran itu dimungkinkan oleh kekuasaan dengan coercion
yang dimungkinkan oleh kekuasaan negara yang memonopoli kekerasan, violence,
dan alat-alat kekerasan.
Karena itulah
manajemen kementerian berbeda, sehingga sebetulnya tidak bisa disebut sebagai
management, tetapi sebagai suatu statecraft, crafting the
state, yang lebih dalam pengertian mengolah strategi bagi kemaslahatan
warga negara pada umumnya.
Sumber : http://www.prismajurnal.com/