Oleh : Nasyaruddin, S.Si*
Arif
Budiman (Kakak Soe Hok Gie) dalam tulisannya di suatu harian menyebut Yap Thiam
Hien sebagai penyandang Triple
Minoritas. Suatu istilah yang dipinjam dari Harry Tjan Silalahi. Alasannya : Pertama, dia Keturunan Cina, Kedua, dia Kristen dan Ketiga, dia jujur dan bersih. “Satu
minoritas saja sudah membuat kesepian, dia tiga sekaligus”, kata Arif Budiman.
Yap Thiam Hien |
Peran Yap Thiam Hien sebagai ahli
Hukum, Pengacara dan pengajar memang memiliki pengaruh dan sejarah panjang bagi
Indonesia. Selama menjadi pengacara, Yap pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh
pemilik gedung. Yap juga menjadi salah seorang pendiriYayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Pada era Bung Karno,
Yap menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan
politik, seperti Mohammad
Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir,
dan Princen.
Begitu pula ketika terjadinya Peristiwa
G30S, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga
berani membela para tersangka G30S seperti Abdul Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat.
Yap bersama H.J.C Princen, Aisyah Aminy,
Dr Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr
Tambunan yang tergabung dalam Lembaga
Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang mereka dirikan 29 April 1966 dan
sekaligus mewakili Amnesty International di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan.
Ia juga membuktikan nasionalisme
tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang seseorang. Ini dibuktikannya
dengan tidak mengganti nama Tionghoa yang ia sandang sampai akhir hayatnya
walaupun ada himbauan dari pemerintah Orde Baru kepada orang Tionghoa di
Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa mereka.
Ia juga membela Soebandrio,
bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru
itu. Pembelaan Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat
hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah
Militer Luar Biasa) bingung dan kesal.
Yap juga seorang tokoh yang
antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang
korupsi di lembaga pemerintah.
Pada Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Yap juga tampil
teguh memosisikan diri membela para aktivis mahasiswa. Ia pun ditahan tanpa proses
peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran.
Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan
membela para tersangka. (Sumber : Wikipedia.org)
Jika
kita generasi sekarang tidak sempat mengenal kiprah Yap Thiam Hien, minimal kita
bisa membayangkan “Keberanian” Yap hampir mirip Basuki Tjahaja Purnama. Mantan
Bupati Belitung Timur dan sekarang menjadi Gubernur DKI Jakarta ini terkenal vocal,
keras, galak,nekat dan sebagainya.
Jika
Yap dikatakan sebagai Triple Minoritas karena Cina, Kristen dan Jujur-bersih.
Penulis ingin mengatakan bahwa Basuki Tjahja Purnama juga berhak menyandang
Triple Minoritas karena Pertama, dia
keturunan Cina, Kedua, dia Kristen
dan Ketiga, dia Nekat. Ciri Ahok yang
ketiga ini adalah penilaian yang penting. Karena hamper banyak Kepala Daerah yang
Idealis sekalipun dapat disandera, dipenjara, ditekan oleh berbagai kekuatan
luar. Namun Ahok berani atau bias dikatakan Nekat mengambil resiko untuk
bertarung dengan semua kekuatan yang ingin menyanderanya.
Basuki Tjahaja Purnama |
Kecerdikannya,
kenekatannya dan kegalakannya mungkin bukan hanya bawaan lahiriah atau
lingkungan asalnya saja. Bisa jadi Ahok memang “Mampu” membaca Kekuatan Politik
di Ibu Kota Jakarta. Bayangkan, dia nekat melawan para Anggota DPRD Jakarta,
DPR Pusat, melawan mantan Bosnya di Partai Gerindra, Melawan Ormas-ormas yang
terkenal garang dan memiliki basis massa besar. Dengan menggunakan media dan
pembentukan opini public, setiap langkah Ahok seakan terkesan dalam posisi “Benar”.
Untuk
melawan Ahok, kebanyakan Partai Islam dan Ormas Islam menggunakan Isu Minoritas
Non-Islam-nya Ahok. Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadis, Fatwa Pimpinan Ormas Islam timbul
dan mengalir sebagai sumpah serapah. “Sang Kafir” ini memang menjadi sasaran
azab bagi doa bersama para Jamaa’ah anti Ahok.
Apakah
tragedy Ahok sama halnya jika kita menyimak Wali
Kota Calgari-Kanada, Naheed Nenshi . Wali Kota ini terpilih sebagai Wali Kota
Terbaik di Dunia. Wali kota Muslim pertama di Kanada itu mengalahkan 29
nominasi Wali Kota terbaik dunia lainnya di ajang 2014 World Mayor Prize.
Naheed Nenshi |
Sebagai
Muslim kita bangga ada Minoritas Muslim di tengah Mayoritas non-Muslim menjadi
pemimpin yang inspiratif, tegas dan merakyat. Dan kita sampai sekarang
menganggap Ahok sebagai musibah dan bencana karena non-Muslim Minoritas ini
memimpin Mayoritas Muslim. Kalau kita membayangkan bagaimana kira-kira perasaan
Naheed Nenshi sebagai Triple Minoritas di Kanada, apakah sama dengan Ahok?
Inilah
resiko Sang Minoritas terutama mereka yang menerima “Takdir” dan “Nasib”
sebagai Triple Minoritas. Bagaimanapun itu, pembuktian sebenarnya ada pada
hasil pekerjaannya bukan dari minoritasnya.
*Nasyaruddin, S.Si
Ketua MD KAHMI Pandeglang Bidang Komunikasi, Informasi dan Hubungan Masyarakat