*** SELAMAT DATANG DI BLOG MAJELIS DAERAH KAHMI PANDEGLANG *** SUKSESKAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH PROVINSI BANTEN 2017 *** .
Laporan Dana Anggota Koperasi KSU MITRA INSAN SEJAHTERA Sampai dengan 09 SEPTEMBER 2016 (Total Rp.1.550.000) : AHMAD WIHYA DIPYANA, SP,.M.Si Rp.100.000,MIMIN MUTI'AH, S.Pd,. MM Rp.100.000, NASYARUDDIN, S.Si Rp 350.000,SUMANTA, S.Ag Rp.100.000,BUDI SETIAWAN, SE Rp.150.000,KHAIRIL AMRI, S.Pd Rp.200.000,A.HAFIDZ, S.Pd.I Rp.50.000,OMAN SUPRAMAN, S.Ag Rp.100.000,NURASIAH, S.Pd Rp.100.000,EKO WALUYO, MM Rp.50.000,YANGTO,SH.MH Rp.100.000, IIN MUKLISIN, S.IP Rp.100.000, WAHID PUTERA, S.T Rp.50.000 .

SANG TRIPLE MINORITAS DARI YAP THIAM HIEN HINGGA BASUKI TJAHJA PURNAMA

Oleh : Nasyaruddin, S.Si*

Arif Budiman (Kakak Soe Hok Gie) dalam tulisannya di suatu harian menyebut Yap Thiam Hien sebagai penyandang Triple Minoritas. Suatu istilah yang dipinjam dari Harry Tjan Silalahi. Alasannya : Pertama, dia Keturunan Cina, Kedua, dia Kristen dan Ketiga, dia jujur dan bersih. “Satu minoritas saja sudah membuat kesepian, dia tiga sekaligus”, kata Arif Budiman.
Yap Thiam Hien

Peran Yap Thiam Hien sebagai ahli Hukum, Pengacara dan pengajar memang memiliki pengaruh dan sejarah panjang bagi Indonesia. Selama menjadi pengacara, Yap pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Yap juga menjadi salah seorang pendiriYayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Pada era Bung Karno, Yap menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen.
Begitu pula ketika terjadinya Peristiwa G30S, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga berani membela para tersangka G30S seperti Abdul Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Yap bersama H.J.C Princen, Aisyah Aminy, Dr Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (LPHAM) yang mereka dirikan 29 April 1966 dan sekaligus mewakili Amnesty International di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan.
Ia juga membuktikan nasionalisme tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang seseorang. Ini dibuktikannya dengan tidak mengganti nama Tionghoa yang ia sandang sampai akhir hayatnya walaupun ada himbauan dari pemerintah Orde Baru kepada orang Tionghoa di Indonesia untuk mengganti nama Tionghoa mereka.
Ia juga membela Soebandrio, bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru itu. Pembelaan Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung dan kesal.
Yap juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.
Pada Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Yap juga tampil teguh memosisikan diri membela para aktivis mahasiswa. Ia pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan membela para tersangka. (Sumber : Wikipedia.org)
Jika kita generasi sekarang tidak sempat mengenal kiprah Yap Thiam Hien, minimal kita bisa membayangkan “Keberanian” Yap hampir mirip Basuki Tjahaja Purnama. Mantan Bupati Belitung Timur dan sekarang menjadi Gubernur DKI Jakarta ini terkenal vocal, keras, galak,nekat dan sebagainya.

Jika Yap dikatakan sebagai Triple Minoritas karena Cina, Kristen dan Jujur-bersih. Penulis ingin mengatakan bahwa Basuki Tjahja Purnama juga berhak menyandang Triple Minoritas karena Pertama, dia keturunan Cina, Kedua, dia Kristen dan Ketiga, dia Nekat. Ciri Ahok yang ketiga ini adalah penilaian yang penting. Karena hamper banyak Kepala Daerah yang Idealis sekalipun dapat disandera, dipenjara, ditekan oleh berbagai kekuatan luar. Namun Ahok berani atau bias dikatakan Nekat mengambil resiko untuk bertarung dengan semua kekuatan yang ingin menyanderanya.
Basuki Tjahaja Purnama
Kecerdikannya, kenekatannya dan kegalakannya mungkin bukan hanya bawaan lahiriah atau lingkungan asalnya saja. Bisa jadi Ahok memang “Mampu” membaca Kekuatan Politik di Ibu Kota Jakarta. Bayangkan, dia nekat melawan para Anggota DPRD Jakarta, DPR Pusat, melawan mantan Bosnya di Partai Gerindra, Melawan Ormas-ormas yang terkenal garang dan memiliki basis massa besar. Dengan menggunakan media dan pembentukan opini public, setiap langkah Ahok seakan terkesan dalam posisi “Benar”.

Untuk melawan Ahok, kebanyakan Partai Islam dan Ormas Islam menggunakan Isu Minoritas Non-Islam-nya Ahok. Ayat-ayat Al-Qur’an, Hadis, Fatwa Pimpinan Ormas Islam timbul dan mengalir sebagai sumpah serapah. “Sang Kafir” ini memang menjadi sasaran azab bagi doa bersama para Jamaa’ah anti Ahok.

Apakah tragedy Ahok sama halnya jika kita menyimak Wali Kota Calgari-Kanada, Naheed Nenshi . Wali Kota ini terpilih sebagai Wali Kota Terbaik di Dunia. Wali kota Muslim pertama di Kanada itu mengalahkan 29 nominasi Wali Kota terbaik dunia lainnya di ajang 2014 World Mayor Prize.
Naheed Nenshi


Sebagai Muslim kita bangga ada Minoritas Muslim di tengah Mayoritas non-Muslim menjadi pemimpin yang inspiratif, tegas dan merakyat. Dan kita sampai sekarang menganggap Ahok sebagai musibah dan bencana karena non-Muslim Minoritas ini memimpin Mayoritas Muslim. Kalau kita membayangkan bagaimana kira-kira perasaan Naheed Nenshi sebagai Triple Minoritas di Kanada, apakah sama dengan Ahok?


Inilah resiko Sang Minoritas terutama mereka yang menerima “Takdir” dan “Nasib” sebagai Triple Minoritas. Bagaimanapun itu, pembuktian sebenarnya ada pada hasil pekerjaannya bukan dari minoritasnya.









*Nasyaruddin, S.Si
Ketua MD KAHMI Pandeglang Bidang Komunikasi, Informasi dan Hubungan Masyarakat