Sejarah
pembentukan Republik Indonesia memiliki catatan panjang. Dari catatan yang
panjang ini ada catatan sejarah yang tidak banyak diungkapkan terutama mengenai
sosok pemimpin penting di awal Revolusi. Sebagai anak Bangsa kita harus
mengetahui peristiwa penting ini terutama didalam Manajemen Pemerintahan. Perlu
kita telusuri mengenai “Pemindahan Kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan
dalam cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya” ketika Para
pemimpin seperti Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil
Presiden saat itu mengalami keadaan luar biasa seperti ditangkap, dibuang atau
disandera. Ada dua Anak Bangsa penting yang sempat tercatat sebagai “Orang
Pilihan” untuk dijadikan Pemimpin “Sementara” ketika Negara dalam keadaan
Darurat Luar Biasa. Pertama, Tan
Malaka danKedua, Sjafrudin
Prawiranegara.
1.
Tan
Malaka, Sang Jenius -Misterius Wajah ndeso
Menurut
catatan Dr. Harry A. Poeze Dalam buku 'Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia' pertemuan antara Tan Malaka dengan Bung
Karno terjadi pada 9 September. Pertemuan itu terjadi
di rumah kediaman dokter pribadi Soekarno , dr Soeharto , di Jalan Kramat Raya No 82, Jakarta.
(http://www.merdeka.com/). "Kalau saja tiada berdaja
lagi, maka kelak pimpinan revolusi akan saja serahkan kepada saudara ( Tan
Malaka )," kata Bung Karno.
Sayang sekali momen tersebut hanya sebatas
pembicaraan saja tanpa ada Konstitusi yang mengaturnya. Tan Malaka, memiliki
banyak nama Samaran seperti Abdul Rajak dari Kalimantan, Husen Dari Banten.
Ada kisah menarik mengenai Tan Malaka yang diceritakan Mantan Presiden K.H
Abdurahman Wahid saat diwawancarai oleh stasiun Televisi. Pada malam hari Rumah
Dinas Menteri Agama saat itu K.H Wahid Hasyim (Ayah Gusdur) diketuk seseorang.
Gusdur kecil membukakan pintu dan melihat ada sesorang. Dia menanyakan apakah
Bapak ada? Gusdur kecil menjawab Bapak sudah tidur dan saya tidak berani
membangunkan bapak. Dengan santai orang itu menyuruh Gusdur untuk cukup
mengatakan saja namanya diluar Pintu Kamar Tidur Bapaknya. “Bilang saja Husen
dari Banten!”. Saat Gusdur mengatakan nama itu didepan Pintu Kamar Bapaknya,
segera terdengar suara berisik dan pintu dibuka oleh Bapaknya dengan
tergesa-gesa. Bapaknya terlihat merapihkan Pakaian dan sarungnya dengan segera
menemui tamu itu. Seakan-akan ada orang sangat amat penting sedang
memanggilnya.
Jika kita membicarakan dan membaca salah satu karya
fenomenalnya MADILOG (Materialisme Dialektika Logika) maka kita semua
mungkin akan terkejut bahwa MADILOG merupakan Karya Paling Mengagumkan dan
Berpengaruh bagi Pemikir Dunia. Bahkan banyak Intektual dan Cendikiawan Barat
dari dulu sampai sekarang masih belum percaya bahwa MADILOG disusun oleh seorang
Indonesia asli berwajah petani kampungan.
Bagaimana peran Tan Malaka di dunia Internasional? Pernah
mendengar ILO (International Labour Organization) yang merupakan salah satu
Badan PBB yang konsen pada advokasi kelas Pekerja dan Buruh di seluruh Dunia?
Tan Malaka adalah salah satu pencetus, pendiri dan penggiat ILO.
“Misterius” adalah
kata yang melekat pada sosok Tan Malaka baik sejak dia Hidup bahkan sampai
kematiannya. Biarkanlah Tan Malaka yang Misterius menjadi Misteri itu sendiri. Dan
kita sebagai generasi berikutnya hanya sedikit dapat mengungkapkan Misteri-nya.
2.
Sjafrudin
Prawiranegara
“Tapi saya tidak pernah menerima mandat itu,” kata
Syafruddin Prawiranegara saat ditanyakan Mandat dari Soekarno sebagai
Penerima Peralihan urusan Pemerintahan Republik Indonesia.
PDRI (Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia) dibentuk terutama inisiatif penuh tokoh-tokoh sipil
di Sumatera Barat. Yakni: Mr. Syafruddin Prawiranegara (Ketua PDRI, merangkap
Menteri Pertahanan), Mr. T.M. Hasan (Wakil Ketua, merangkap Menteri Dalam
Negeri), Mr. S. M. Rasjid (Menteri Keamanan), Mr. Lukman Hakim (Menteri
Keuangan merangkap Menteri Kehakiman), Ir. Mananti Sitompul (Menteri Pekerjaan
Umum), dan Ir. Indracahya (Menteri Perhubungan). Inilah kabinet dalam gerilya.
Kabinet mobil,
berpindah-pindah markas. “Di Bidar Alam kami bermarkas sementara sekitar empat
bulan,” kata Syafruddin. Bidar Alam 195 kilometer ke arah selatan dari Padang.
Dengan demikian, PDRI adalah “potret” lain dari kalangan sipil yang memilih bergerilya
ketimbang berunding, apalagi ditawan Belanda.
Layak
memang dikoreksi bahwa Soekarno-Hatta – betapapun hebat magnet kedua tokoh ini
– bukanlah potret yang utuh dari figur kepemimpinan sipil lengkap dengan
pilihan sikapnya. Menyerahnya Soekarno-Hatta, yang kemudian ditawan di Bangka,
merupakan kekecewaan pertama bagi Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kekecewaan yang
kedua, ketika kemudian Soekarno memberikan mandat pada Moh. Roem untuk
berunding dengan Van Royen di pihak Belanda, tidak dengan pengetahuan dan
persetujuan PDRI. Padahal, baik defacto maupun de jure, Soekarno bukanlah
presiden. Syafruddin menolak isi perundingan Roem-Royen itu. “Kami ingin agar
Belanda mengundurkan diri dari seluruh Indonesia, dan bukan hanya dari Yogya,”
ucap Syafruddin. “Kalau PDRI yang berunding, pasti hasilnya lebih bagus. Tapi
Bung Karno memang menganggap sepele PDRI.” Sikap serupa juga ditunjukkan oleh
Rasjid. “Ya, buat apa berunding, kalau kemerdekaan kita dibatasi. Bung Karno
memang memandang sepi kita,” kata Rasjid. “Soekarno mau berunding, sebenarnya
hanya supaya dia cepat keluar dari tahanan,” kata Syafruddin. (https://serbasejarah.wordpress.com)
Kontroversi mengenai
status “Presiden” Sjafrudin Prawiranegara masih berlanjut sampai sekarang. Para
Sejarahwan pun ramai dalam pusaran perdebatan mengenai status Presiden dalam
PDRI. Bagi simpatisan Partai Masyumi, Sjafruddin adalah pemimpin yang sangat dihormati
baik dalam PDRI maupun PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Kontroversi
Sjafruddin Prawiranegara terjadi pada tahun 1949, saat
menjabat sebagai Menteri Keuangan antara tahun 1949-1950. Selaku
Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, pada bulan Maret 1950 ia melaksanakan
pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh.
Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.
Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA)
dan uang De Javasche Bank dari
pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai
tanggal 9 Agustus pukul
18.00. Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan
uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari
tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi. Guntingan kanan
dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara
sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar tiga puluh tahun kemudian
dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi
simpanan di bank.
Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang
saat itu sedang terpuruk--utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung.
Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul
menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan
mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan
dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan
pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar. (Wikipedia.org)
Di masa muda sejak zaman Kolonial hingga tuanya saat
rezim Orde Baru, kehidupan Sjafruddin Prawiranegara jauh dari kata “Kaya Raya”.
Seorang Legenda Hidup, Bapak Bangsa dan Guru Bangsa ini menjalani kehidupan
yang jauh dari kata cukup. Bahkan aktivitasnya baik dalam politik hingga
ceramah dari stau Masjid ke Masjid pun dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. Kita
semua bisa membayangkan bagaimana rasanya berjuang dan berkorban namun hasilnya
dirampok oleh orang-orang yang jsutru tidak pernah turut berjuang bahkan
sebagian adalah pengkhianat bangsa.
Sang Ayah tidak pernah menuntun balasan cinta dan kasih
sayang kepada anak-anaknya. Sang Guru tidak pernah menuntut balasan akan Ilmu
dan bimbingan kepada murid-muridnya.
Seorang anak sekaligus murid bisa saja mengabaikan
setitik cinta dan bimbingan dari Ayah dan Gurunya. Namun apa yang telah
diperolehnya tidak mungkin akan pernah bisa dikembalikan dan telah mendarah
daging dalam hidupnya…
Nasyaruddin, S.Si
Ketua Bidang Komunikasi, Informasi dan Hubungan Masyarkat
Majelis Daerah KAHMI Pandeglang-Banten